Tragedi Nasional dan Konflik Internal di Indonesia
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Selamat datang di blog Artikel & Materi . Senang sekali rasanya kali ini dapat kami bagikan materi IPS Sejarah Kelas 9 Semester 2 tentang Tragedi Nasional dan Konflik Internal di Indonesia (Pemberontakan PRRI, Piagam Perjuangan Semesta, PKI Madiun, DI/TII dan lain-lain. Berikut artikel selengkapnya..
TRAGEDI NASIONAL DAN KONFLIK INTERNAL DI INDONESIA
A. Dampak persoalan hubungan pusat daerah , persaingan
ideologis, dan pergolakan sosial politik lainnya terhadap kehidupan
politik nasional dan daerah sampai awal tahun 1960 an
1. Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat
Gerakan-gerakan di daerah yang menentang kebijakan perimbangan
ekonomi pusat dan daerah muncul pertama kali di Sumatera Barat, dengan
berdirinya Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.
Gerakan ini menuntut otonomi daerah kepada Pemerintah Pusat,
serta pergantian kabinet Djuanda. Menyusul Dewan Banteng,
berdirilah beberapa Dewan Militer diberbagai daerah, seperti :
1. Dewan Gajah
(Medan)
:
Kolonel M. Simbolon
2. Dewan Garuda
(Palembang)
; Kolonel
Barlian
3. Dewan Lambung Mangkurat (Kalimantan) : Kolonel M. Basri
4. Dewan Manguni
(Menado)
: Kolonel Ventje Samuel
Letnan Kolonel Ahmad Husein bersama dengan beberapa tokoh sipil yang
lain seperti Syarif Usman, Burhanudin Harahap, dan Syafrudin
Prawiranegara bahkan mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat,
bahwa dalam waktu 5 x 24 jam P.M. Djuanda menyerahkan mandatnya kepada
Presiden dan presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan semula
sebagai presiden yang konstitusional.
Gerakan ini bertujuan bukan untuk memisahkan diri dari RI tetapi
gerakan yang bersifat menggantikan pemerintahan yang sah. Untuk menumpas
gerakan ini pemerintah RI melaksanakan beberapa operasi, yaitu :
1. Operasi Tegas [ mengamankan Riau ] dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution
2. Operasi 17 Agustus [ mengamankan Sumatera barat ], dipimpin oleh Kol. A Yani
3. Operasi Saptamarga [ mengamankan Sumatera Utara ] , dipimpin Brigjen Jatikusumo
4. Operasi Sadar [ mengamankan Sumatera Selatan ] dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo.
Pada tanggal 29 Mei 1961, Ahmad Husein berserta pasukannya menyerahkan diri dan pemberontakan PRRI pun berakhir.
2. Piagam Perjuangan Semesta / Permesta
Gerakan daerah yang berlatarbelakang perimbangan ekonomi pusat dan
daerah akhirnya meluas ke Sulawesi. Dewan Manguni yang dipimpin oleh
Letkol Ventje Samuel mendukung PRRI dan mengumumkan berdirinya Permesta
pada tanggal 2 Maret 1957. Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita
dan pembagian pendapatan daerah secara adil ( daerah surplus mendapat
70% dari hasil ekspor ).
Untuk menumpas gerakan ini pemerintah melaksanakan Operasi Merdeka,
yang merupakan operasi gabungan dan dipimpin oleh Letkol Rukminto
Hendraningrat. Gerakan penumpasan Permesta merupakan operasi yang sangat
sulit, karena medan pertempuran sangat cocok dengan kondisi
pemberontak, serta adanya indikasi keterlibatan pihak asing (AS), yaitu
dengan tertangkapnya pilot helikopter Alan Pope (warga negara Amerika
Serikat) yang berhasil ditembak jatuh oleh pasukan TNI. Pada pertengahan
tahun 1961 sisa sisa pemberontakan Permesta menyerahkan diri dan
memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke tengah
tengah masyarakat.
B. Peristiwa Madiun/PKI dan cara yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangannya dan konflik-konflik Internal lainnya
Puncak dari gerakan PKI ini adalah tanggal 18 September 1948 dengan
mengumumkan berdirinya Negara Soviet Republik Indonesia di Madiun.
Menyertai gerakan ini, mereka mengadakan aksi-aksi kejam, dengan
mengadakan penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh pemerintah dan
agama. Salah satu tokoh pemerintah yang menjadi korban gerakan ini
adalah Gubernur Jawa Timur, R.M. Suryo yang diculik dan dibunuh.
Gerakan ini merupakan sebuah pengkhianatan dari dalam negeri,
mengingat disaat yang sama pemerintah dan bangsa Indonesia sedang
menghadapi Agresi Militer Belanda dalam rangka mempertahankan
kemerdekaan.
Untuk menumpas pemberontakan ini pemerintah melakukan serangkaian operasi sebagai berikut :
1. Ketika kekacauan di Solo meningkat, pemerintah
mengangkat Kolonel Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer Surakarta dan
sekitarnya (Semarang. Pati, Madiun)
2. mengangkat Kolonel Soengkono sebagai Gubernur Militer jawa Timur
3. Menyerahkan pimpinan operasi penumpasan kepada
Panglima Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution (karena panglima TNI /
Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang sakit)
Pada tanggal 30 September 1948 Madiun dapat direbut dan diduduki
kembali oleh pasukan Brigade Siliwangi pimpinan Mayor Ahmad
Wiranatakusumah dan Brigade Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono. Dalam
operasi ini pimpinan PKI Madiun, Muso berhasil ditembak mati pada saat
akan melarikan diri ke Rusia, sedangkan pimpinan yang lain seperti,
Semaun, Darsono, Alimin, dan Amir Syarifudin berhasil ditangkap dan
dijatuhi hukuman mati dalam pengadilan / mahkamah militer.
Dampak dari pemberontakan PKI Madiun ini adalah :
– Korban
pemberontakan PKI dari kedua belah pihak sangat besar, termasuk rakyat
yang tidak mengerti soal politik.
– Kekuatan
bangsa Indonesia dalam perjuangan menghadapi Belanda menjadi lemah dan
dimanfaatkan Belanda untuk melancarkan agresi militernya yang kedua
– Keberhasilan
menumpas pemberontakan PKI Madiun menimbulkan simpati dari dunia barat,
terutama Amerika Serikat sehingga memperkuat posisi Indonesia dalam
perjuangan diplomasi melawan Belanda
C. Peristiwa DI/TII dan Cara Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Penanggulangannya
Gerakan pemberontakan ini berawal dari gagasan / ide Sekarmadji
Maridjan Kartosuwiryo untuk membentuk sebuah negara Islam. Kartosuwiryo
mendirikan Pondok Pesantren Sufah, di Malangbong Jawa Barat. Pada
bulan Pebruari 1948, Kartosuwiryo mengubah gerakan suci melawan Belanda
menjadi sebuah gerakan politik, dengan menobatkan diri sebagai Imam
Negara Islam Indonesia, dan menamakan pasukannya dengan nama Tentara
Islam Indonesia (TII).
Kontak senjata pertama terjadi dengan pasukan TNI dari Divisi
Siliwangi yang baru kembali dari Yogyakarta tanggal 25 Januari
1949. Sejak saat itu terjadi perang segi tiga antara pasukan DI/TII –
TNI – Belanda.
Tindakan pemerintah dalam menumpas gerakan DI/TII :
- Pendekatan oleh pimpinan Partai Masyumi : Moh. Natsir melalui surat tidak berhasil, bahkan Kartosuwiryo secara resmi membalas surat itu dengan memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949
- Bulan September 1949 untuk kedua kali Moh. Natsir membujuk Kartosuwiryo untuk menghentikan pemberontakan dan kembali ke pangkuan RI, tetapi gagal. Bahkan sejak saat itu rakyat Jawa Barat mulai mengalami teror dari gerombolan DI/TII yang sering melakukan pembunuhan, merampas harta benda rakyat untuk memenuhi kebutuhan logistik pasukan / gerombolan ini.
- Setelah tindakan persuasif tidak berhasil mengembalikan Kartosuwiryo ke pangkuan ibu pertiwi, pemerintah bertindak tegas dengan menggelar Operasi Pagar Betis. Operasi yang dilaksanakan dengan bantuan rakyat Jawa barat ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerak gerombolan. Sehingga semakin hari semakin banyak para pengikut Kartosuwiryo yang menyerahkan diri dan kembali ke tengah- tengah masyrakat. Gerombolan DI/TII terdesak di Gunung Geber, Tasikmalaya.
- Akhirnya tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo beserta keluarga dan pengikutnya dapat ditangkap hidup-hidup dalam sebuah operasi yang diberi nama sandi Operasi Baratayudha. Dan pada tanggal 16 Agustus Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati.
Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, ternyata mendapat simpati dari berbagai daerah di Indonesia, seperti :
a. Di Jawa Tengah
Gerakan ini diproklamasikan di Desa Pengarasan, kabupaten Tegal pada
tanggal 23 Agustus 1949, dan menyatakan diri bergabung dengan Negara
Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Gerakan ini dipimpin oleh Amir
Fatah, bekas anggota TNI dari kesatuan Hizbullah.
Gerakan dapat ditumpas melalui Operasi Banteng Negara pimpinan
Kolonel Sarbini, Letkol Bachrum dan Letkol Ahmad Yani, pada tahun 1950.
Kemudian di Di Kebumen, Gerakan ini dipimpin
oleh Mohammad Mahfud Abdulrahman atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Kyai Sumolangu. Seperti Amir Fatah, gerakan ini juga menyatakan sebagai
bagian dari NII Kartosuwirtyo. Gerombolan ini dapat ditumpas pada tahun
1954 melalui sebuah operasi militer yang diberi nama Operasi Guntur.
b. Di Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh bekas Letnan
Dua TNI yang bernama Ibnu hajar. Ia menamakan pasukannya sebagai
Kesatuan Rakyat yang Tertindas [KRYT].
Semula pemerintah bertindak persuasif terhadap gerakan ini, karena
Ibnu Hajar bersedia kembali bergabung dengan APRIS. Namun tindakan ini
ternyata hanya muslihat Ibnu Hajar supaya pasukannya semakin kuat dana
kembali melakukan pemberontakan. Akhirnya pemerintah bertindak tegas
dengan menumpas habis gerakan ini pada tahun 1959.
c. Di Sulawesi Selatan
Kahar Muzakar memulai gerakannya pada tahun 1951 dan menamakan
gerakannya dengan Komando Gerakan Gerilya Sulawesi Selatan. Ia menuntut
supaya pasukannya dimasukkan ke dalam APRIS dengana nama brigade Hasanudin.Namun
tuntutan ini ditolak pemerintah, tetapi pemerintah memberikan wadah
bagi pasukan kahar Muzakar dengan nama Korps Cadangan Nasional.
Awalnya Kahar Muzakar menerima tawaran pemerintah ini. Pada saat
pasukan ini akan dilantik, Kahar Muzakar dan kelompoknya melarikan diri
ke hutan dengan membawa seluruh peralatan militer yanag akan digunakan
untuk pelantikan. Penipuan Kahar Muzakar ini dibalas pemerintah dengan
melakukan operasi besar besaran dari Divisi Diponegoro. Pada bulan
Pebruari 1965 Kahar Muzakar tertembak mati.
d. Di Aceh
Kekecewaan Tengku Daud Beureuh kepada pemerintah, karena hilangnya
kedudukan militer dan turunnya status Aceh dari sebuah dari istimewa
menjadi karesidenan, menyebabkan Daud Beureuh menyatakan diri bergabung
dengan Negara Islam Indonesia ( 21 September 1953 )
Pemerintah berusaha mengatasi pemberontakan ini dengan mendatangkan
pasukan dari Sumatera Utara dan tengah. Karena terus terdesak pasukan
Daud Beureuh melakukan pemberontakan dari hutan-hutan, di pegunungan
Bukit Barisan.
Selain tindakan represif, pemerintah juga melakukan tindakan
persuasif dengan mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aaceh, atas
prakarsa Kolonel M. Yasin (Panglima Kodam I Iskandar Muda). Musyawarah
ini membawa hasil yang sangat positif, karena Daud Beureuh akhirnya
bersedia kembali ke tengah tengah masyarakat Aceh dan menerima Amnesti
dari pemerintah.\
D. Keadaan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya sebelum terjadinya peristiwa G 30 S / PKI
1. Perubahan Taktik PKI Setelah Kegagalan Tahun 1926 dan 1948
Peristiwa pemberontakan partai Komunis Indonesia yang terjadi pada
tahun 1926 di Jawa barat dan Sumatera barat, serta tahun 1948 di Madiun
merupakan indikasi kuat akan adanya keinginan mendirikan negara komunis,
tetapi gagal. Kegagalan ini menyebabkan D.N. Aidit dan H.M. Lukman yang
baru datang dari luar negeri pada bulan Juli 1950 menata kembali
partainya. Mereka mengubah bentuk perjuangannya menjadi MKTBP ( Metode
Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan ), yaitu :
1. perjuangan gerilya di desa yang teridiri dari kaum buruh tani dan tani miskin
2. perjuangan revolusioner kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh angkutan
3. bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama di kalangan angkatan bersenjata
Dalam rangka memperlancar MKTBP dibentuk Biro Khusus yang bertugas :
- mengembangkan pengaruh dan ideologi PKI ke dalam tubuh TNI guna menyusun potensi dan kekuatan bersenjata
- mengusahakan agar setiap anggota TNI yang bersedia menjadi anggota dapat membina anggota TNI yang lain.
- mencatat anggota TNI yang telah dibina agar sewaktu waktu dapat dimanfaatkan bagi kepentingannya.
Kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia yang carut marut pada
tahun 1950 an ikut menentukan perkembangan pengaruh PKI, sehingga dapat
tumbuh subur. Posisi PKI semakin mantap setelah terbukti dapat meraih
posisi 4 besar dalam Pemilu I tahun 1955. Adanya konsep NASAKOM dan
terbentuknya Kabinet Dwikora pada tanggal 27 Agustus 1964 sangat
menguntungkan PKI, karena di dalam kabinet ini terdapat orang-orang yang
telah terpengaruh ideologi PKI dan mempunyai posisi yang strategis,
seperti Dr. Soebandrio (Waperdam I) dan Dr. Chaerul saleh (Waperdam II).
PKI juga berhasil mempengaruhi Kolonel
Untung Sutopo, komandan pasukan
pengawal presiden dari resimen Cakra Birawa untuk masuk dalam
kelompoknya.
Kepercayaan dan kekuatan yang dimiliki PKI tahun 1965 semakin mantap,
sehingga mereka berani mengusulkan dibentuknya Angkatan ke 5, yaitu
Buruh dan Tani yang dipersenjatai. Namun usulan ini mendapat tantangan
keras dari musuh utama PKI, yaitu Angkatan Darat. Permusuhan PKI dengan
Angkatan Darat semakin meruncing, dengan muncul isu Dewan Jenderal yang
akan menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno. Isu ini bermula dari
ditemukannya dokumen di rumah peristirahatan Duta Besar Amerika Serikat,
Bill Palmer (Konon dokumen ini ditulis oleh Sir Andrew Gilchrist Dubes
Inggris untuk Dubes AS, sehingga dikenal dengan nama ”Dokumen
Gilchrist”) yang isinya menyebutkan adanya persekongkolan para perwira
tinggi Angkatan darat yang tergabung dalam Dewan Jenderal yang dipimpin
oleh Jenderal Abdul Haris Nasution untuk menggulingkan kekuasaan
Presiden Soekarno. (catatan : sampai sekarang kebenaran dokumen ini
masih diragukan).
Munculnya isu ini menimbulkan perasaan curiga dan saling tuduh antara
PKI dengan Angkatan Darat. Situasi semakin memanas, dan menimbulkan
rencana PKI untuk menyingkirkan para perwira tinggi Angkatan Darat yang
tidak dapat dipengaruhi oleh ideologi PKI.
2. Konfrontasi Dengan Malaysia
Latar belakang peristiwa :
Tahun 1961 Inggris merencanakan untuk memberi kemerdekaan kepada
Federasi Malaya, yang wilayahnya meliputi : Semenanjung Melayu, Brunei,
Singapura, Sabah dan Serawak. Rencana ini ditentang oleh Indonesia dan
Philipina. Presiden Soekarno menganggap berdirinya Federasi Malaya
sebagai bentuk dari Neo Kolonialisme Inggris yang sangat membahayakan
revolusi Indonesia yang belum selesai. Sedangkan Philipina menentang
karena wilayah Sabah dahulu merupakan wilayah kasultanan Sulu di
Philipina Selatan.
Untuk menengahi perselisihan tiga anegara tersebut, diadakanlah
Konferensi Maphilindo ( KTT Manila) pada bulan Juli-Agustus 1963, yang
menghasilkan kesepakatan ”bahwa ketiga negara sepakat untuk meminta
Sekjend PBB (U Than) menyelidiki keinginan rakyat-rakyat di daerah yang
akan menjadi anggota federasi”.
Atas kesepakatan tersebut, PBB mengirim diplomat Michelmoore untuk
melakukan penyelidikan, namun belum selesai penyelidikan dilakukan, P.M.
Tengku Abdurrahman sudah mengumumkan berdirinya Federasi Malaya pada
tanggal 16 September 1963, dengan wilayah : Semenanjung Melayu,
Singapura, Sabah dan Serawak.
Tanggal 17 September pemerintah RI mengumumkan pemutusan hubungan
diplomatik dengan Malaysia dan Inggris. Kedutaan Malaysia dan Inggris di
jakarta di demonstrasi oleh ribuan massa pada tanggal 18 September
1963.
Konfrontasi mencapai puncaknya ketika Prersiden Soekarno mengumumkan Dwikora tanggal 3 Mei 1964 yang isinya :
1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
2. Bantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura, Sabah,
Serawak dan Brunei untuk menggagalkan negara boneka Federasi malaya
bentukan Inggris.
Untuk memperlancar operasi, dibentuk Brigade Sukarelawan Bantuan
Tempur Dwikora pimpinan Kolonel Sobirin Mochtar. Konfrontasi ini terus
berlangsung sampai dengan awal masa orde baru.
3. NEFO dan OLDEFO
Berawal dari KTT Non Blok 1964 di Kairo Mesir, Presiden Saoekarno
memperkenalkan konsep tentang The New Emerging Forces (NEFO) yang
anggotanya terdiri dari negara-negara berkembang dan anti nimperialisme.
Gerakan ini dimaksudkan untuk melawan kelompok yang oleh Soekarno
disebut OLDEFO (Old Establising Frorces) yaitu kelompok negara negara
imperialis pimpinan Amerika Serikat. Namun usaha ini ditentang oleh
Anggota Gerakan Non Blok. Karena kegagalan usaha ini Presiden Soekarno
menjalankan politik diplomasi dengan tujuan:
- usaha menarik negara-negara Afrika dan timur Tengah untuk mendukung rencana Indonesia mengadakan CONEFO (Konferensi Negara NEFO) dengan didahului oleh GANEFO (Games of New Emerging Forces) di Jakarta
- pembentukan poros Jakarta – Pnom Penh – Peking – Pyong Yang sebagai poros anti imperialis dan kolonialis
- Politik Indonesia ini semakin membuat Indonesia terkucil dari pergaulan internasional.
- Keluar dari PBB (7 januari 1965
Alasan Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965 adalah :
1. kegagalan dalam menghadapi terbentuknya federasi sehingga Indonesia menjalankan politik konfrontasi
2. kegagalan menentang masuknya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Kegagalan-kegagalan ini menjadi pukulan berat bagi pemerintahan
Presiden Soekarno, sehingga memutuskan diri untuk keluar dari
keanggotaan PBB. Keadaan ini semakin mengisolasi pemerintahan Republik
Indonesia dari pergaulan internasional.
E. Peristiwa G 30 S/ PKI dan cara penanggulangannya
Pada tanggal 4 Agustus 1965 kondisi Presiden Soekarno sangat
mengkhawatirkan., pada saat itu beliau sakit muntah muntah dan pingsan,
dan menurut team dokter dari Cina yang memeriksanya terdapat dua
kemungkinan dengan kondisi presiden, yaitu meninggal atau lumpuh.
Diagnosa team dokter dari Cina ini membuat para pimpinan PKI segera
mnengambil sikap untuk secepatnya melakukan gerakan sebelum akhirnya
presiden meninggal.
Dimulai dari desa Lubang Buaya, pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul
03.00 WIB dini hari mereka melakukan Gerakan penculikan terhadap para
perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu :
1. Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution
2. Menteri Panglima Angkatan Darat (MenPangad), Letnan Jenderal Ahmad yani
3. Deputi II Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeprapto
4. Deputi III Panglima Angkatan Darat, Mayor jenderal Haryono Mas Tirtodarmo
5. Asisten I Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soewondo Parman
6. Asisten IV Panglima Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Donald Icasus Panjaitan
7. Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan darat, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomihardjo
Dalam peristiwa penculikan, dari ketujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat tersebut mengalami nasib yang tidak sama :
- Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari penculikan dengan meloncat pagar rumah Wakil Perdana Menteri III Dr. J. Leimena. Tetapi puterinya yang berusia 5 tahun terpaksa menjadi korban keganasan G 30 S / PKI : Ade Irma Suryani Nasution terkena peluru yang ditembakkan oleh PKI. Beliau kemudian bersembunyi di tempat yang dirahasiakan, dengan kondisi kedua kaki terluka.
- Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan dibawa dalam kondisi meninggal setelah di tembak di rumah beliau masing-masing.
- Haryono M.T., Sutoyo Siswomihardjo, S. Parman dan Soeprapto di bawa dalam keadaan hidup ke desa Lubang Buaya.
- Selain para perwira tinggi tersebut dan Ade irma Suryani, terdapat korban lain keganasan gerombolan ini, yaitu :
a. Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun
(ajudan Waperdam III Dr. J. Leimena) yang tertembak mati, pada
saat gerombolan salah sasaran masuk ke rumah Dr. J. Leimena, yang di
kira rumah A.H. Nasution.
b. Letnan Satu Pierre Tendean (ajudan
Jenderal AH Nasution) yang ditangkap hidup – hidup karena dikira dia lah
Nasution.
c. Polisi Sukitman yang tertangkap
secara tidak sengaja pada saat meronda di sekitar Lubang Buaya. Tetapi
berhasil lolos dari maut.
Sementara itu pada tanggal 1 Okto0ber 1965 sore hari terjadi
penculikan dan pembunuhan terhadap Komandan Korem O72, Kolonel
Katamso dan Wakilnya Letnan Kolonel Sugiono.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto (Pangkostrad)
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena nasib para pemimpin
Angkatan Darat belum diketahui. Pada hari itu juga Mayjend. Soeharto
menunjuk Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (komandan RPKAD) sebagai Komandan
penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta, sedangkan di Jawa Tengah
penumpasan di pimpin oleh Pangdam VII Diponegoro Brigjend. Suryo
Sumpeno. Sebagai komandan pasukan penumpasan G 30 S, tugas pertama
Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah merebut kembali RRI Stasiun Pusat
Jakarta yang telah berhasil dikuasai gerombolan.
Tanggal 2 Oktober 1965 pasukan Kol. Sarwo Edhie melakukan penyisiran
di sekitar Lapangan terbang Halim Perdana Kusuma, karena dari daerah
inilah (Lubang Buaya) pada tanggal 1 Oktober terdengar suara suara gaduh
dan tembakan. Kedatangan pasukan ini membuat gerombolan yang masih
berada di Lubang Buaya kalang kabut dan melarikan diri, meninggalkan
Brigadir Polisi Sukitman yang masih terikat di pohon.
Berdasarkan petunjuk Brigadir Polisi Sukitman yang berhasil lolos
dari sekapan gerombolan, jenazah para perwira AD dapat ditemukan pada
tanggal 3 Okrtober 1965 dan dimakamkan di TMP Kalibata pada tanggal 5
Oktober 1965. Pada tanggal ini juga Ade Irma Suryani Nasution meninggal
di rumah sakit setelah koma sejak tanggal 1 Oktober 1965..
Operasi penumpasan G 30 S berlangsung diberbagai daerah. Selain di
jakarta dan Jawa Tengah, operasi penumpasan juga dikembangkan untuk
memburu para gembong penculikan sampai daerah Blitar Selatan. Operasi
Militer di Blitar Selatan diberi nama Operasi trisula, sedangkan
diperbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur diberi nama Operasi Kikis.
Operasi-operasi tersebut berhasil menangkap dan menembak tokoh-tokoh G
30 S / PKI. Dalang utama G 30 S / PKI, D.N., Aidit tertembak mati pada
tanggal 24 Nopember 1965.
Tanggal 1 Desember 1965 dibentuk Komando Merapi yang dipimpin oleh
Kolonel Sarwo Edhie Wibowo untuk memburu gembong pemberontak yang lari
ke Jawa Tengah. Dalam operasi ini berhasil ditembak mati gembong-gembong
pemberontak, seperti : Kol. Sahirman, Kol. Maryono, Letkol Usman, Mayor
Samadi, Mayor RW Sakirno dan Kapten Sukarno.Sedangkan tokoh-tokoh yang
tertangkap hidup-hidup seperti Letkol Untung Sutopo, diadili dalam
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada tanggal 14 Pebruari 1966.
Demikian materi IPS Sejarah Kelas 9 Semester 2 tentang Tragedi Nasional dan Konflik Internal di Indonesia (Pemberontakan PRRI, Piagam Perjuangan Semesta, PKI Madiun, DI/TII dan lain-lain.. Semoga dapat menambah referensi..
Posting Komentar untuk "Tragedi Nasional dan Konflik Internal di Indonesia"